Welcome

Welcome

Minggu, 13 Desember 2015

Cahaya di Balik Kegelapan (Sebuah Cerpen)



Senangnya hati Ahmad setelah cintanya diterima oleh Sinta, anak orang kaya tetangga desa yang cantiknya tiada terkira jumlahnya. Sedangkan Ahmad merupakan anak tukang kayu yang hidupnya pas-pasan, namun, gantengnya berlebihan, sehingga membuat Sinta adik kelasnya itu jatuh cinta tak karuan. Oh sungguh indahnya hidup Ahmad. Meskipun Ahmad berpacaran dengan anak orang kaya yang mempunyai harta melimpah tiada tara, tak membuat Ahmad menjadi besar kepala. Dia ingin hidup yang sederahana saja. Nah, ini yang membuat Sinta tambah jatuh cinta kepadanya. Ahmad lebih memilih membonceng Sinta dengan motor bututnya ketimbang menggunakan mobil milik Sinta.
Diterima dengan baik oleh keluarga Sinta membuat Ahmad tak sungkan bila menjemput Sinta pergi ke sekolah atau bermalam minggu di rumahnya. Setiap hari Ahmad menjadi ojek si Sinta, pagi menjemput, siang mengantar pulang. Mungkin itu masih SMA sehingga orang tua Sinta masih tak menghiraukan masalah pernikahan, toh itu hanya cinta monyet, suatu saat bisa berganti pasangan. Namun, pemikiran orang tua Sinta tak berjalan sesuai kenyataan, anaknya dan Ahmad tak juga putus hubungan, sudah lulus SMA keduanya malah ingin melanjut ke pernikahan.
Tak ingin Ahmad menjadi menantunya, orang tua Sinta membatasi Sinta untuk jalan keluar dengan si Ahmad.
“Nduk, kamu jangan sering-sering keluar sama laki-laki, tak baik dilihat tetangga. Kamu kan perempuan, lebih baik Ahmad yang suruh main kesini.” Alasan orang tua Sinta agar Sinta tak keluar dengan Ahmad.
“Tapi, Bu. Laki-laki yang keluar dengan Sinta kan Ahmad. Bukannya Ibu sudah mengenal Ahmad. Dia kan baik, Bu.” Bantah Sinta kepada ibunya yang melarangnya untuk pergi keluar dengan laki-laki.
“Bukannya Ahmad juga laki-laki.” Tambah ibunya yang semakin memojokkan Sinta. Sinta pun terdiam seribu kata, tak berani membantah ibunya lagi.
Alasan orang tua Sinta ingin memutuskan hubungannya dengan Ahmad yaitu, Ahmad anak orang biasa dan dia tidak kuliah. Ahmad juga semakin paham dengan sikap ibunya Sinta terhadapnya akhir-akhir ini. Dia juga sadar akan dirinya yang bukan anak orang kaya dan pekerjaannya yang hanya seorang pegawai pabrik dengan gaji pas-pasan. Dia dulu sempat mendaftar kuliah, namun gagal, dia tidak keterima. Kegagalannya menjadi seorang mahasiswa membuatnya semakin dipandang sebelah mata oleh orang tua Sinta.
Kemalangan semakin melanda Ahmad, dia malah tak boleh main ke rumah Sinta, sehingga Ahmad dan Sinta akhirnya backstreet. Cinta sembunyi-sembunyi yang dilakukan keduanya berlangsung cukup lama tanpa diketahui orang tua Sinta. Ketika Sinta hendak pulang atau pergi dari atau ke kampus yang berada di kota, dia selalu menyempatkan untuk mampir ke rumah Ahmad.
Suatu saat Ahmad dan Sinta berbincang-bincang mengenai hubungan mereka akan berakhir seperti apa nantinya. Apakah akan berlanjut seperti yang mereka inginkan atau malah Sinta yang akan menuruti kemauan orang tuanya.
“Sinta, apakah kamu  tidak lelah dengan semua ini?” Ahmad mengawali pembicaraan.
“Lelah sih, sudah pasti lelah. Tapi mau gimana lagi.” Nada suara Sinta semakin pasrah saja dengan keadaan.
Langit semakin gelap, bukan gelap akan datangnya malam, melainkan gelap karena awan hitam yang semakin menghalangi matahari untuk menyinari bumi. Suasana yang membuat mereka semakin gelap tak dapat menemukan jalan keluar akan hubungannya. Keheningan menyelimuti mereka, hingga akhirnya mulailah perbincangan yang diawali oleh Ahmad.
“Daripada bingung-bingung seperti ini, gimana kalau kita kawin lari saja.”
“Jangan ngawur kamu, Mad. Meskipun aku mencintaimu, namun aku tak akan melakukan hal itu.”
Perkataan Ahmad yang membuat Sinta muntab dan berpikir dua kali untuk meneruskan hubungannya dengan Ahmad. Sebenarnya Ahmad tak ingin mengatakan hal itu pada Sinta, namun karena dorongan kakaknyalah dia berbicara seperti itu. Saat dia pergi ke rumah kakaknya yang kebetulan istri kakaknya adalah temannya sendiri itu, kemudian kakaknya mengajaknya bicara.
“Mad, gimana hubunganmu dengan Sinta?”
“Ya, gitu deh, Kak. Tak ada kejelasan.”
“Gimana sih kamu ini, jadi cowok kok lemah. Kalau kamu mencintai Sinta dan Sinta juga mencintaimu, ajak kawin lari saja tuh Sinta, bila perlu hamili dia sekarang, nanti orang tua Sinta mau tak mau pasti akan meminta pertanggungjawaban darimu.”
Perkataan-perkataan kakaknya didengar oleh Ahmad, sebagai rasa hormat pada kakaknya. Terkejut si Ahmad ketika mendengar solusi yang dilontarkan oleh kakaknya itu. Solusi yang menurutnya tak akan menyelesaikan masalah nanti malah menambah masalah. Namun, cintanya pada Sinta membutakan segalanya. Ahmad mengungkapkan pada Sinta kalau dia ingin mengajak kawin lari padanya. Bukan respon baik yang dia dapatkan, melainkan respon buruk yang memperumit keadaan. Sinta menjadi marah dan dia ingin menyudahi saja, bagaimanapun juga dia tak ingin durhaka pada orang tuanya.
Sudah sebulan Ahmad mengajak Sinta untuk kembali meneruskan hubungan yang ingin dia akhiri di pelaminan. Namun apalah daya dia tak berhasil membujuk Sinta. Bahkan tersirat kabar bahwa Sinta akan segera bertunangan dengan hasil perjodohan yang dilakukan orang tua Sinta. Sinta tak ingin menolak perjodohan yang dilakukan orang tuanya, ingat sekali lagi bahwa Sinta tak ingin durhaka kepada orang tua.
Pasrah, itu yang bisa dilakukan oleh Ahmad. Dia akhirnya memutuskan untuk melupakan Sinta dan ingin mencari penggantinya. Ahmad mendadak menjadi alim, yang biasanya  tak pernah sholat, sekarang menjadi rajin sholat, dia bahkan menjalankan puasa sunah  senin-kamis. Melakukan hal yang tak biasa dia lakukan, hingga kakak, adik, serta orang tuanya menjadi bingung. Bingung lantaran perubahan yang terjadi pada anaknya. Suatu hari kakaknya pergi menemui Sinta di kampus tempat Sinta kuliah. Kakaknya Ahmad melabrak Sinta agar Sinta bersedia kembali kepada Ahmad karena dia sudah tak tahan melihat tingkah laku adiknya yang semakin hari semakin membuatnya kasihan.
“Hei, Sinta. Sini sebentar aku mau bicara empat mata kepadamu.”
“Iya, Kak. Kakak mau bicara apa denganku?”
“Begini, Sin, aku sudah tak tahan lagi melihat tingkah Ahmad yang semakin hari membuatku semakin kasihan saja. Layaknya orang gila yang tak tahu mau berbuat apa?”
“Memangnya dia bertingkah seperti apa, Kak? Hingga Kakak begitu kasihan.”
“Dia sekarang menjadi rajin sholat, rajin mengaji, serta puasa. Aneh, kan?”
Sinta dibuat terkejut oleh kakaknya Ahmad, karena tingkah laku Ahmad semenjak putus dengannya menjadi tambah lebih baik dari biasanya.
“Loh, Kak, kenapa Kakak harus kasihan, bukannya itu tambah bagus melihat tingkah adiknya yang semakin shaleh.”
“Bukan begitu, Sin. Kan tak enak melihat tingkah adik sendiri yang tak seperti biasanya.”
“Terus apa yang bisa aku lakukan, Kak?”
“Aku minta tolong kamu balikan sama Ahmad.”
“Maaf, Kak, aku tak bisa. Aku sudah memiliki calon yang dicarikan orang tuaku. Aku juga mau pamit dulu, Kak, soalnya sebentar lagi aku ada jam kuliah, Kak. Sekali lagi aku minta maaf, Kak.”
Kekecewaan yang mendalam dirasakan oleh Dani, kakaknya Ahmad. Dia tak berhasil membujuk Sinta untuk kembali lagi dengan Ahmad. Sedangkan Ahmad semakin mendalami ilmu agamanya, dia sering mengikuti acara-acara kajian yang ada di desa maupun di kota dekat rumahnya. Sungguh perubahan yang sangat positif. Dia bahkan belajar membaca Al-Quran dengan baik dan benar. Dia ingin lebih bisa memahami isi dari ayat-ayatnya.
Waktu berjalan begitu cepat, tiga tahun sudah Ahmad hidup sendiri tanpa kekasih. Namun, Ahmad tak memusingkan hal itu, karena dia sudah memasrahkan semuanya kepada Yang Kuasa. Suatu saat dia dipanggil guru mengajinya melalui via suara untuk menemui beliau di rumahnya. Ternyata sang guru ingin mengenalkan Ahmad dengan keponakannya yang seumuran denganya.
Bergegas Ahmad langsung menuju ke kediaman guru mengajinya. Terkejut Ahmad melihat seorang gadis yang anggun bak bunga yang baru mekar dan belum pernah dijamah orang. Ahmad mengucapkan salam sebelum memasuki rumah sang guru.
Assalamu’alaikum
Wa’alaikumsallam.” Gadis itu dan guru mengajinya menjawab salam dari Ahmad secara bersamaan.
“Silakan duduk, Mad.” Sambut sang guru.
Perbincangan yang cukup lama antara sang guru, Ahmad, dan si gadis cantik jelita itu yang tak lain adalah keponakan dari guru mengajinya Ahmad. Akhirnya Ahmad mohon untuk undur diri karena hari sudah larut. Sesampainya di rumah Ahmad masih terbayang-bayang denga gadis itu dan esok harinya Ahmad ingin menanyakan sesuatu kepada guru mengajinya yang merupakan paman dari sang gadis.
Setelah sholat dhuha, dia bergegas ke rumah guru mengajinya, Pak Arifin. Pak arifin sedikit heran dan senang dengan kedatangan Ahmad yang datang tanpa mengabarinya terlebih dahulu.
Assalamu’alaikum, Pak.” Sapa Ahmad kepada Pak Arifin yang sedang menyirami tanaman di pekarangannya.
Wa’alaikumsallam, Mad. Ada apa, Mad, kok tumben masih pagi sudah kesini.” Sahut Pak Arifin yang sedikit menggoda Ahmad.
Terjadilah perbincangan antara mereka berdua. Sebenarnya kedatangan Ahmad ke rumah Pak Arifin, yaitu menanyakan sesuatu hal tentang keponakan Pak Arifin, gadis yang telah menghantui tidurnya itu. Setiap hendak memejamkan mata, bayangan gadis itu selalu melayang-layang di pikirannya. Tak pernah ada gadis yang dia pikirkan selama putus hubungan dengan Sinta.
“Tidak ada apa-apa, Pak, saya hanya ingin menanyakan tentang seseorang yang Bapak kenalkan pada saya kemarin.”
“Apa yang kamu tanyakan tentang keponakanku, Mad?”
“Apakah keponakan Bapak sudah memiliki pendamping hidup?”
“Hehehe, akhirnya...”  pembicaraan Pak Arifin tiba-tiba berhenti, membuat Ahmad menjadi bingung dan ikut semakin serius memandang wajah Pak Arifin yang seperti merencanakan sesuatu. Setelah satu menit suasana hening, akhirnya Pak Arifin melanjutkan pembicaraannya.
“Akhirnya rencanaku berhasil, Mad.”
“Rencana apa, Pak, kalau boleh tahu?”
“Rencana untuk menjodohkanmu dengan keponakanku, Aisyah.”
Berbunga-bunga hati Ahmad mendengar kata Pak Arifin yang ternyata sudah merencanakan ini semua. Sebuah cahaya yang datang setelah melewati kegelapan-kegelapan dalam hidupnya. Tak pernah dibayangkan sebelumnya bahwa akhir dari penantiannya selama ini diakhiri dengan hadirnya seorang pendamping hidup.
Sebulan Ahmad berta’aruf dengan Aisyah, akhirnya mereka berdua akan resmi menjadi pasangan suami dan istri. Keluarga langsung menerima baik sosok Aisyah, begitu juga keluarga dari Aisyah langsung menerima baik Ahmad. Ahmad, Aisyah, serta Pak Arifin sangat berbahagia. Cahaya akan datang stelah kita meninggalkan kegelapan yang telah membutakan mata hati kita.

Sabtu, 05 Desember 2015

Apel Berbaju Merah Jambu (Sebuah Cerpen)



Masih teringat perkataan ayahnya bahwa hidup itu penuh perjuangan. Itu yang sekarang dialami Tejo. Dia setiap hari harus berjuang agar ayahnya bisa sembuh dari sakit yang enggan pergi dari tubuh ayahnya. Sejak lulus sekolah dasar, Tejo harus bekerja setiap pulang sekolah, mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan ayahnya. Dia merawat ayahnya seorang diri, ibunya meninggalkannya dan juga ayahnya karena tak tahan melihat ayahnya yang terus sakit, entah sakit apa yang diderita ayahnya. Sungguh berat hidup yang dijalani Tejo.
Terik matahari masih menyala-nyala menyilaukan mata, namun, Tejo masih semangat menggembala kambing-kambing milik tetangganya itu. Dia mendapat upah sepuluh ribu rupiah per hari ditambah makan siang. Selepas menggembala kambing, Tejo memasang tali pada tas, yang tiap seratus tas ia mendapat upah tiga ribu rupiah. Tejo dapat memasang tali tas sebanyak tiga ratus sampai lima ratus tas. Tejo tidak pernah bermain bersama tema-temannya, dia lebih memilih bermain bersama kambing-kambing ketimbang bermain bersama teman-temannya. Pernah suatu saat dia diajak temannya bermain, tapi dia tolak.
“Jo, Tejo, ayo main. Jangan kamu terus-terusan main sama kambing-kambingmu itu. Sekali-kali kamu main sama kami-kami ini.” Kata temannya sambil menggelindingkan bola ke arah Tejo.
“Nggak, ah. Main sama kalian tak dapat upah cuma dapat capek saja.” Tanggapan Tejo sambil mengembalikan bola ke arah teman-temannya.
Tak ada yang menemani hari-hari Tejo selain ayah dan kambing-kambingnya. Terkadang ia berbicara dengan kambing-kambing yang ia gembala. Mencurahkan isi hatinya kepada sang kambing, seakan kambing-kambing itu tahu isi hati Tejo. Ketika Sutejo sedang sedih, sang kambing juga ikut sedih, dia hanya makan sedikit rumput. Namun, ketika Tejo sedang gembira, sang kambing juga ikut gembira, sehingga nafsu makannya bertambah. Ketika Tejo berbicara kepada sang kambing, sang kambing menanggapi pembicaraan Tejo dengan bersuara, mbek.
Tejo bercita-cita ingin menjadi dokter, motivasinya berasal dari ayahnya yang tak juga sembuh-sembuh. Kata tetangga-tetangganya, ayahnya menderita sakit liver atau hati, melihat perut ayahnya yang buncit macam orang hamil lima bulan. Namun, cita-citanya kandas lantaran ekonominya yang bisa dibilang mlarat dan dia yang tak begitu pandai.
Seminggu sekali ia pergi ke kota untuk membelikan obat ayahnya. Sebelum pulang ia selalu mampir ke toko buah di perempatan membeli buah apel yang dibungkus jaring berwarna merah jambu, ia sebut apel berbaju merah jambu. Tejo selalu membeli apel karena ayahnya suka memakan buah apel. Namun, apel yang dibeli Tejo merupakan apel yang sudah tidak layak jual, karena harganya lebih murah daripada apel yang masih baru dan segar. Tapi, penjual di toko buah itu sudah kenal dengan Tejo, ketika Tejo datang senyumnya langsung mengembang bah bunga yang baru disiram.
“Hai, Jo. Biasanya, kan?” tanya penjual buah.
“Iya, Mas.” Jawab Tejo.
Sesekali penjual buah meledek Tejo yang sibuk memilih-milih apel yang sekiranya masih bisa dimakan manusia.
“Jo, kenapa kamu tak beli yang masih segar saja?” ledeknya.
“Nggak, Mas. Uangnya tak cukup.” Dengan senyum manisnya ditambah lesung pipit yang menghiasi pipinya.
Bersemangat mengayuh sepeda butut warisan kakeknya itu, Tejo berdoa dalam hati agar suatu hari nanti dapat membelikan ayahnya apel berbaju merah jambu yang masih baru dan segar. Tak ada hal yang membahagiakan selain melihat ayahnya tersenyum. Bagi Tejo senyum ayahnya adalah obat rasa capai yang dideritanya karena terus bekerja. Sungguh anak yang baik dan bijaksana.
Sesampainya di rumah, Tejo berlekas mengambil pisau untuk mengupas apel yang baru ia beli. Melihat anaknya mengupas apel, membuat hati ayah Tejo terharu karena anaknya yang tidak pernah mengeluh dengan keadannya.
“Terima kasih, Nak. Kau sangat baik pada Ayah, meskipun keadaan Ayah seperti ini kau tetap merawat Ayah. Maafkan Ayahmu ini yang selalu merepotkanmu, Nak.” Kata ayah tejo.
Menetes air mata Tejo mendengar perkataan ayahnya, kemudian ia menanggapi perkataan ayahnya dengan air mata yang terus mengalir semakin deras.
“Ayah, kenapa Ayah bicara seperti itu? Itu sudah kewajiban Tejo sebagai anak Ayah. Dulu Ayah sudah baik sama Tejo, setiap sabtu Ayah selalu mengajak Tejo bersepeda ke kota terus membeli apel berbaju merah jambu. Namun, sekarang Tejo hanya bisa membelikan Ayah apel yang sudah tak layak jual. Tapi, tenang saja, Yah, nanti kalau Tejo sudah memiliki banyak uang, Ayah akan Tejo belikan apel berbaju merah jambu yang masih baru dan segar.”
Esok harinya adalah hari senin, hari dimana Tejo melakukan aktivitas seperti biasanya sebagai seorang pelajar  SMP. Namun, hari itu ada yang beda bagi Tejo. Baru masuk jam pertama pelajaran, Tejo sudah dipanggil ke ruang bimbingan konseling. Bertanya-tanya hati Tejo mengingat dirinya merupakan anak yang pandai, tak suka buat masalah, karena hidupnya sudah susah, sehingga ia tak mau mempersusah hidupnya dengan hal-hal yang tak berguna. Masuklah Tejo ke ruang bimbingan konseling, rupanya di dalam sudah ada Bu Anik, guru mata pelajaran bimbingan konseling.
“Oh, Tejo. Masuk, Jo.” Panggil Bu Anik kepada Tejo karena melihat Tejo yang mengintip-intip di depan pintu.
“Iya, Bu. Kalau boleh saya tahu, apakah saya melakukan kesalahan?”
“Tidak, Jo, kamu tidak melakukan kesalahan. Ibu memanggil kamu karena Ibu ingin memberitahukan bahwa sebentar lagi akan ada lomba lari jarak jauh tingkat SMP se-Jawa Timur, ini kesempatan emas, Jo. Kamu ikut saja.”
“Ada hadiahnya kah, Bu?”
“Sudah pasti ada dong, Jo. Juara pertama mendapatkan hadiah uang  sepuluh juta rupiah. Juara kedua mendapatkan hadiah uang lima puluh juta rupiah. Dan juara ketiga mendapatkan hadiah uang dua juta rupiah. Juara yang diambil hanya tiga besar saja. Semuanya akan mendapatkan piagam penghargaan. Kamu bersedia, Jo?”
Setelah berpikir lumayan lama, akhirnya Tejo menjawab tawaran Bu Anik. Karena ia tertarik dengan hadiah yang ditawarkan, ia menjadi sangat bersedia. Ia ingin meraih juara pertama, agar ia dapat membawa ayahnya berobat ke rumah sakit dan membelikan ayahnya apel berbaju merah jambu yang masih baru dan segar sebanyak yang ayahnya minta.
“Baik, Bu, saya bersedia.” Katanya.
Perbincangan Tejo dengan Bu Anik cukup lama, sehingga pelajaran pertama yang ia lewatkan tadi sudah akan berakhir lima belas menit lagi. Namun, Tejo tak memasuki kelanya, ia malah pergi ke ruang guru. Tujuannya adalah menemui Pak Kohar selaku guru mata pelajaran olahraga.
Assalamu’alaikum.” Tejo mengucapkan salam, namun, salamnya hanya bisa didengar olehnya dan kutu yang berada di rambutnya, sangat pelan. Ia menengok ke sana kemari mencari Pak Kohar, tapi tak ada satu pun guru yang berada di ruangan itu. Benar saja tak ada guru, karena itu masih jam pelajaran, belum jam istirahat. Dengan kecewa Tejo melangkah meninggalkan ruang guru dan kembali ke kelasnya, meskipun nanti di dalam kelas dia akan mendapat wawancara dadakan karena dia yang dipanggil ke ruang bimbingan konseling.
Bunyi bel tanda jam istirahat sudah berdering. Tejo bergegas keluar kelas macam orang yang kelamaan menahan kencing, sangat terburu-buru. Kembali ia pergi ke ruang guru, tujuannya masih sama yaitu, mencari Pak Kohar. Belum sampai di runag guru, ia langsung bertemu dengan Pak Kohar.
“Assalamu’alaikum, Pak.”
“Wa’alaikumsallam, Jo. Ada apa, Jo?”
“Begini, Pak. Saya tadi diberitahu Bu Anik bahwa sebentar lagi akan ada lomba lari jarak jauh tingkat SMP se-Jawa Timur, saya tertarik mengikutinya. Apakah Bapak bersedia melatih saya?”
“Oh, jelas Bapak bersedia. Melihat muridnya yang sangat bersemangat seperti kamu ini membuat Bapak tambah bersemangat. Kalau boleh Bapak tahu apa yang membuat kamu bersemangat mengikuti lomba ini, Jo?”
Tanpa sungkan Tejo menceritakan alasan ia sangat bersemangat mengikuti lomba lari jarak jauh ini kepada Pak Kohar. Sebelum ia bercerita, ia tarik napas melalui hidung dikeluarkannya juga lewat hidung, tapi ini sedikit panjang.
“Yang membuat saya bersemangat mengikuti lomba ini adalah ayah saya, Pak. Saya ingin meraih juara pertama, agar mendapatkan uang sepuluh juta.”
“Jika kamu sudah mendapatkan uang sepuluh juta, nanti uang itu akan kamu apakan, Jo?” tanya Pak Kohar yang penasaran dengan apa yang dipikirkan Tejo.
“Uang sepuluh juta itu akan saya gunakan untuk membawa ayah saya berobat ke rumah sakit, Pak. Sudah dua tahun terakhir ini ayah saya tak  bisa bangun dari tempat tidur. Saya ingin membuat ayah saya bisa bangun lagi dari tempat tidur dan mengajaknya jalan-jalan ke kota, kemudian membeli apel berbaju merah jambu kesukaan ayah.”
Tanpa disadari Tejo, ternyata Pak Kohar sudah terisak-isak mendangar ceritanya. Sungguh tabah betul seorang yang bernama Tejo ini, masih kecil sudah berpikir layaknya orang dewasa. Kata Pak Kohar dalam hati.  
Setiap hari Tejo berlatih tanpa kenal lelah. Setelah sholat subuh, ia langsung berlari mengitari kampung. Ia biasanya menghasilkan tiga ratus sampai lima ratus tas, sekarang ia hanya menghasilkan dua ratus tas karena tubuhnya yang sudah sangat kecapaian berlatih. Terkadang ia berlari sambil mengangkat kambing gembalaannya yang paling gemuk. Ia juga pergi ke kota tanpa menaiki sepedanya, ia memilih untuk berlari.
Pak Kohar tak kalah semangatnya saat melatih Tejo. Setiap hari selepas jam pelajaran habis, Pak Kohar dan Tejo berlatih di lapangan sekolah. Pak Kohar senantiasa memberi teori-teori dan arahan-arahan pada Tejo. Untuk menambah stamina Tejo, Pak Kohar juga memberinya sekotak susu bubuk rasa coklat, karena Tejo suka rasa coklat.
Waktu perlombaan sudah tiba. Namun, kondisi ayah Tejo semakin parah saja, itu yang membuat Tejo semakin tak tega meninggalkan ayahnya. Ia selalu ingin di dekat ayahnya, tapi besok perlombaannya sudah dimulai. Akhirnya dengan dorongan ayahnya dan Pak Kohar, Tejo mengikuti perlombaannya. Sebelum berangkat Tejo meminta doa restu kepada ayahnya, ia mencium kaki ayahnya, sungguh mengharukan melihat mereka berdua.
Tejo mengeluarkan seluruh energinya, ia berlari seperti kijang yang sedang dikejar harimau yang hendak memakannya. Berbekal teori yang diberikan Pak Kohar serta doa ayahnya membuat Tejo semakin yakin untuk meraih juara pertama. Benar sekali dengan mudah Tejo melewati saingan-saingannya. Akhirnya ia menang dan mendapat uang sepuluh juta rupiah, tunai langsung diserahkan kepada Tejo. Bergetar hati Tejo memegang uang sebanyak itu, ia menangis di pelukan Pak Kohar.
Sementara itu kondisi ayahnya di rumah sudah tidak memungkinkan lagi untuk hidup. Dalam perjalanan Tejo meminta Pak Kohar untuk mengantarkannya membeli apel berbaju merah jambu yang masih baru dan segar untuk ayahnya yang menunggunya di rumah. Namun, sesampai di rumah sudah banyak orang di teras. Dalam hati Tejo bertanya-tanya apa yang terjadi pada ayahnya. Kemudian ada tetangganya yang menghampirinya dengan air mata yang terus mengalir.
“Jo, kamu yang tabah, ya, Nak. Semua ini sudah kehendak Allah. Kamu yang ikhlas, ya.”
 Dijatuhkannya semua apel yang ia bawa setelah mendengar perkataan tetangganya itu. ia macam orang linglung, ia berteriak memanggil ayahnya, berlari menuju ke tempat ayahnya berbaring sekarang.
“Ayah.... jangan tinggalkan Tejo, Yah. Nanti Tejo sama siapa.”
Usaha Tejo untuk membangunkan ayahnya tidak membuahkan hasil, takdir sudah berkata lain, ayah Tejo sudah meninggal. Disaat Tejo sudah bisa membelikan ayahnya apel yang masih baru dan segar, namun, ayahnya sudah tak dapat lagi menikmatinya. Semenjak itu setiap kamis Tejo pergi ke makam ayahnya dan meletakkan sebuah apel berbaju merah jambu di atas pusara ayahnya.