Welcome

Welcome

Sabtu, 05 Desember 2015

Apel Berbaju Merah Jambu (Sebuah Cerpen)



Masih teringat perkataan ayahnya bahwa hidup itu penuh perjuangan. Itu yang sekarang dialami Tejo. Dia setiap hari harus berjuang agar ayahnya bisa sembuh dari sakit yang enggan pergi dari tubuh ayahnya. Sejak lulus sekolah dasar, Tejo harus bekerja setiap pulang sekolah, mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan ayahnya. Dia merawat ayahnya seorang diri, ibunya meninggalkannya dan juga ayahnya karena tak tahan melihat ayahnya yang terus sakit, entah sakit apa yang diderita ayahnya. Sungguh berat hidup yang dijalani Tejo.
Terik matahari masih menyala-nyala menyilaukan mata, namun, Tejo masih semangat menggembala kambing-kambing milik tetangganya itu. Dia mendapat upah sepuluh ribu rupiah per hari ditambah makan siang. Selepas menggembala kambing, Tejo memasang tali pada tas, yang tiap seratus tas ia mendapat upah tiga ribu rupiah. Tejo dapat memasang tali tas sebanyak tiga ratus sampai lima ratus tas. Tejo tidak pernah bermain bersama tema-temannya, dia lebih memilih bermain bersama kambing-kambing ketimbang bermain bersama teman-temannya. Pernah suatu saat dia diajak temannya bermain, tapi dia tolak.
“Jo, Tejo, ayo main. Jangan kamu terus-terusan main sama kambing-kambingmu itu. Sekali-kali kamu main sama kami-kami ini.” Kata temannya sambil menggelindingkan bola ke arah Tejo.
“Nggak, ah. Main sama kalian tak dapat upah cuma dapat capek saja.” Tanggapan Tejo sambil mengembalikan bola ke arah teman-temannya.
Tak ada yang menemani hari-hari Tejo selain ayah dan kambing-kambingnya. Terkadang ia berbicara dengan kambing-kambing yang ia gembala. Mencurahkan isi hatinya kepada sang kambing, seakan kambing-kambing itu tahu isi hati Tejo. Ketika Sutejo sedang sedih, sang kambing juga ikut sedih, dia hanya makan sedikit rumput. Namun, ketika Tejo sedang gembira, sang kambing juga ikut gembira, sehingga nafsu makannya bertambah. Ketika Tejo berbicara kepada sang kambing, sang kambing menanggapi pembicaraan Tejo dengan bersuara, mbek.
Tejo bercita-cita ingin menjadi dokter, motivasinya berasal dari ayahnya yang tak juga sembuh-sembuh. Kata tetangga-tetangganya, ayahnya menderita sakit liver atau hati, melihat perut ayahnya yang buncit macam orang hamil lima bulan. Namun, cita-citanya kandas lantaran ekonominya yang bisa dibilang mlarat dan dia yang tak begitu pandai.
Seminggu sekali ia pergi ke kota untuk membelikan obat ayahnya. Sebelum pulang ia selalu mampir ke toko buah di perempatan membeli buah apel yang dibungkus jaring berwarna merah jambu, ia sebut apel berbaju merah jambu. Tejo selalu membeli apel karena ayahnya suka memakan buah apel. Namun, apel yang dibeli Tejo merupakan apel yang sudah tidak layak jual, karena harganya lebih murah daripada apel yang masih baru dan segar. Tapi, penjual di toko buah itu sudah kenal dengan Tejo, ketika Tejo datang senyumnya langsung mengembang bah bunga yang baru disiram.
“Hai, Jo. Biasanya, kan?” tanya penjual buah.
“Iya, Mas.” Jawab Tejo.
Sesekali penjual buah meledek Tejo yang sibuk memilih-milih apel yang sekiranya masih bisa dimakan manusia.
“Jo, kenapa kamu tak beli yang masih segar saja?” ledeknya.
“Nggak, Mas. Uangnya tak cukup.” Dengan senyum manisnya ditambah lesung pipit yang menghiasi pipinya.
Bersemangat mengayuh sepeda butut warisan kakeknya itu, Tejo berdoa dalam hati agar suatu hari nanti dapat membelikan ayahnya apel berbaju merah jambu yang masih baru dan segar. Tak ada hal yang membahagiakan selain melihat ayahnya tersenyum. Bagi Tejo senyum ayahnya adalah obat rasa capai yang dideritanya karena terus bekerja. Sungguh anak yang baik dan bijaksana.
Sesampainya di rumah, Tejo berlekas mengambil pisau untuk mengupas apel yang baru ia beli. Melihat anaknya mengupas apel, membuat hati ayah Tejo terharu karena anaknya yang tidak pernah mengeluh dengan keadannya.
“Terima kasih, Nak. Kau sangat baik pada Ayah, meskipun keadaan Ayah seperti ini kau tetap merawat Ayah. Maafkan Ayahmu ini yang selalu merepotkanmu, Nak.” Kata ayah tejo.
Menetes air mata Tejo mendengar perkataan ayahnya, kemudian ia menanggapi perkataan ayahnya dengan air mata yang terus mengalir semakin deras.
“Ayah, kenapa Ayah bicara seperti itu? Itu sudah kewajiban Tejo sebagai anak Ayah. Dulu Ayah sudah baik sama Tejo, setiap sabtu Ayah selalu mengajak Tejo bersepeda ke kota terus membeli apel berbaju merah jambu. Namun, sekarang Tejo hanya bisa membelikan Ayah apel yang sudah tak layak jual. Tapi, tenang saja, Yah, nanti kalau Tejo sudah memiliki banyak uang, Ayah akan Tejo belikan apel berbaju merah jambu yang masih baru dan segar.”
Esok harinya adalah hari senin, hari dimana Tejo melakukan aktivitas seperti biasanya sebagai seorang pelajar  SMP. Namun, hari itu ada yang beda bagi Tejo. Baru masuk jam pertama pelajaran, Tejo sudah dipanggil ke ruang bimbingan konseling. Bertanya-tanya hati Tejo mengingat dirinya merupakan anak yang pandai, tak suka buat masalah, karena hidupnya sudah susah, sehingga ia tak mau mempersusah hidupnya dengan hal-hal yang tak berguna. Masuklah Tejo ke ruang bimbingan konseling, rupanya di dalam sudah ada Bu Anik, guru mata pelajaran bimbingan konseling.
“Oh, Tejo. Masuk, Jo.” Panggil Bu Anik kepada Tejo karena melihat Tejo yang mengintip-intip di depan pintu.
“Iya, Bu. Kalau boleh saya tahu, apakah saya melakukan kesalahan?”
“Tidak, Jo, kamu tidak melakukan kesalahan. Ibu memanggil kamu karena Ibu ingin memberitahukan bahwa sebentar lagi akan ada lomba lari jarak jauh tingkat SMP se-Jawa Timur, ini kesempatan emas, Jo. Kamu ikut saja.”
“Ada hadiahnya kah, Bu?”
“Sudah pasti ada dong, Jo. Juara pertama mendapatkan hadiah uang  sepuluh juta rupiah. Juara kedua mendapatkan hadiah uang lima puluh juta rupiah. Dan juara ketiga mendapatkan hadiah uang dua juta rupiah. Juara yang diambil hanya tiga besar saja. Semuanya akan mendapatkan piagam penghargaan. Kamu bersedia, Jo?”
Setelah berpikir lumayan lama, akhirnya Tejo menjawab tawaran Bu Anik. Karena ia tertarik dengan hadiah yang ditawarkan, ia menjadi sangat bersedia. Ia ingin meraih juara pertama, agar ia dapat membawa ayahnya berobat ke rumah sakit dan membelikan ayahnya apel berbaju merah jambu yang masih baru dan segar sebanyak yang ayahnya minta.
“Baik, Bu, saya bersedia.” Katanya.
Perbincangan Tejo dengan Bu Anik cukup lama, sehingga pelajaran pertama yang ia lewatkan tadi sudah akan berakhir lima belas menit lagi. Namun, Tejo tak memasuki kelanya, ia malah pergi ke ruang guru. Tujuannya adalah menemui Pak Kohar selaku guru mata pelajaran olahraga.
Assalamu’alaikum.” Tejo mengucapkan salam, namun, salamnya hanya bisa didengar olehnya dan kutu yang berada di rambutnya, sangat pelan. Ia menengok ke sana kemari mencari Pak Kohar, tapi tak ada satu pun guru yang berada di ruangan itu. Benar saja tak ada guru, karena itu masih jam pelajaran, belum jam istirahat. Dengan kecewa Tejo melangkah meninggalkan ruang guru dan kembali ke kelasnya, meskipun nanti di dalam kelas dia akan mendapat wawancara dadakan karena dia yang dipanggil ke ruang bimbingan konseling.
Bunyi bel tanda jam istirahat sudah berdering. Tejo bergegas keluar kelas macam orang yang kelamaan menahan kencing, sangat terburu-buru. Kembali ia pergi ke ruang guru, tujuannya masih sama yaitu, mencari Pak Kohar. Belum sampai di runag guru, ia langsung bertemu dengan Pak Kohar.
“Assalamu’alaikum, Pak.”
“Wa’alaikumsallam, Jo. Ada apa, Jo?”
“Begini, Pak. Saya tadi diberitahu Bu Anik bahwa sebentar lagi akan ada lomba lari jarak jauh tingkat SMP se-Jawa Timur, saya tertarik mengikutinya. Apakah Bapak bersedia melatih saya?”
“Oh, jelas Bapak bersedia. Melihat muridnya yang sangat bersemangat seperti kamu ini membuat Bapak tambah bersemangat. Kalau boleh Bapak tahu apa yang membuat kamu bersemangat mengikuti lomba ini, Jo?”
Tanpa sungkan Tejo menceritakan alasan ia sangat bersemangat mengikuti lomba lari jarak jauh ini kepada Pak Kohar. Sebelum ia bercerita, ia tarik napas melalui hidung dikeluarkannya juga lewat hidung, tapi ini sedikit panjang.
“Yang membuat saya bersemangat mengikuti lomba ini adalah ayah saya, Pak. Saya ingin meraih juara pertama, agar mendapatkan uang sepuluh juta.”
“Jika kamu sudah mendapatkan uang sepuluh juta, nanti uang itu akan kamu apakan, Jo?” tanya Pak Kohar yang penasaran dengan apa yang dipikirkan Tejo.
“Uang sepuluh juta itu akan saya gunakan untuk membawa ayah saya berobat ke rumah sakit, Pak. Sudah dua tahun terakhir ini ayah saya tak  bisa bangun dari tempat tidur. Saya ingin membuat ayah saya bisa bangun lagi dari tempat tidur dan mengajaknya jalan-jalan ke kota, kemudian membeli apel berbaju merah jambu kesukaan ayah.”
Tanpa disadari Tejo, ternyata Pak Kohar sudah terisak-isak mendangar ceritanya. Sungguh tabah betul seorang yang bernama Tejo ini, masih kecil sudah berpikir layaknya orang dewasa. Kata Pak Kohar dalam hati.  
Setiap hari Tejo berlatih tanpa kenal lelah. Setelah sholat subuh, ia langsung berlari mengitari kampung. Ia biasanya menghasilkan tiga ratus sampai lima ratus tas, sekarang ia hanya menghasilkan dua ratus tas karena tubuhnya yang sudah sangat kecapaian berlatih. Terkadang ia berlari sambil mengangkat kambing gembalaannya yang paling gemuk. Ia juga pergi ke kota tanpa menaiki sepedanya, ia memilih untuk berlari.
Pak Kohar tak kalah semangatnya saat melatih Tejo. Setiap hari selepas jam pelajaran habis, Pak Kohar dan Tejo berlatih di lapangan sekolah. Pak Kohar senantiasa memberi teori-teori dan arahan-arahan pada Tejo. Untuk menambah stamina Tejo, Pak Kohar juga memberinya sekotak susu bubuk rasa coklat, karena Tejo suka rasa coklat.
Waktu perlombaan sudah tiba. Namun, kondisi ayah Tejo semakin parah saja, itu yang membuat Tejo semakin tak tega meninggalkan ayahnya. Ia selalu ingin di dekat ayahnya, tapi besok perlombaannya sudah dimulai. Akhirnya dengan dorongan ayahnya dan Pak Kohar, Tejo mengikuti perlombaannya. Sebelum berangkat Tejo meminta doa restu kepada ayahnya, ia mencium kaki ayahnya, sungguh mengharukan melihat mereka berdua.
Tejo mengeluarkan seluruh energinya, ia berlari seperti kijang yang sedang dikejar harimau yang hendak memakannya. Berbekal teori yang diberikan Pak Kohar serta doa ayahnya membuat Tejo semakin yakin untuk meraih juara pertama. Benar sekali dengan mudah Tejo melewati saingan-saingannya. Akhirnya ia menang dan mendapat uang sepuluh juta rupiah, tunai langsung diserahkan kepada Tejo. Bergetar hati Tejo memegang uang sebanyak itu, ia menangis di pelukan Pak Kohar.
Sementara itu kondisi ayahnya di rumah sudah tidak memungkinkan lagi untuk hidup. Dalam perjalanan Tejo meminta Pak Kohar untuk mengantarkannya membeli apel berbaju merah jambu yang masih baru dan segar untuk ayahnya yang menunggunya di rumah. Namun, sesampai di rumah sudah banyak orang di teras. Dalam hati Tejo bertanya-tanya apa yang terjadi pada ayahnya. Kemudian ada tetangganya yang menghampirinya dengan air mata yang terus mengalir.
“Jo, kamu yang tabah, ya, Nak. Semua ini sudah kehendak Allah. Kamu yang ikhlas, ya.”
 Dijatuhkannya semua apel yang ia bawa setelah mendengar perkataan tetangganya itu. ia macam orang linglung, ia berteriak memanggil ayahnya, berlari menuju ke tempat ayahnya berbaring sekarang.
“Ayah.... jangan tinggalkan Tejo, Yah. Nanti Tejo sama siapa.”
Usaha Tejo untuk membangunkan ayahnya tidak membuahkan hasil, takdir sudah berkata lain, ayah Tejo sudah meninggal. Disaat Tejo sudah bisa membelikan ayahnya apel yang masih baru dan segar, namun, ayahnya sudah tak dapat lagi menikmatinya. Semenjak itu setiap kamis Tejo pergi ke makam ayahnya dan meletakkan sebuah apel berbaju merah jambu di atas pusara ayahnya.  
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar