Masih
teringat perkataan ayahnya bahwa hidup itu penuh perjuangan. Itu yang sekarang
dialami Tejo. Dia setiap hari harus berjuang agar ayahnya bisa sembuh dari
sakit yang enggan pergi dari tubuh ayahnya. Sejak lulus sekolah dasar, Tejo
harus bekerja setiap pulang sekolah, mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan
ayahnya. Dia merawat ayahnya seorang diri, ibunya meninggalkannya dan juga
ayahnya karena tak tahan melihat ayahnya yang terus sakit, entah sakit apa yang
diderita ayahnya. Sungguh berat hidup yang dijalani Tejo.
Terik
matahari masih menyala-nyala menyilaukan mata, namun, Tejo masih semangat
menggembala kambing-kambing milik tetangganya itu. Dia mendapat upah sepuluh
ribu rupiah per hari ditambah makan siang. Selepas menggembala kambing, Tejo
memasang tali pada tas, yang tiap seratus tas ia mendapat upah tiga ribu
rupiah. Tejo dapat memasang tali tas sebanyak tiga ratus sampai lima ratus tas.
Tejo tidak pernah bermain bersama tema-temannya, dia lebih memilih bermain
bersama kambing-kambing ketimbang bermain bersama teman-temannya. Pernah suatu
saat dia diajak temannya bermain, tapi dia tolak.
“Jo,
Tejo, ayo main. Jangan kamu terus-terusan main sama kambing-kambingmu itu.
Sekali-kali kamu main sama kami-kami ini.” Kata temannya sambil menggelindingkan
bola ke arah Tejo.
“Nggak,
ah. Main sama kalian tak dapat upah cuma dapat capek saja.” Tanggapan Tejo
sambil mengembalikan bola ke arah teman-temannya.
Tak
ada yang menemani hari-hari Tejo selain ayah dan kambing-kambingnya. Terkadang
ia berbicara dengan kambing-kambing yang ia gembala. Mencurahkan isi hatinya
kepada sang kambing, seakan kambing-kambing itu tahu isi hati Tejo. Ketika
Sutejo sedang sedih, sang kambing juga ikut sedih, dia hanya makan sedikit
rumput. Namun, ketika Tejo sedang gembira, sang kambing juga ikut gembira,
sehingga nafsu makannya bertambah. Ketika Tejo berbicara kepada sang kambing,
sang kambing menanggapi pembicaraan Tejo dengan bersuara, mbek.
Tejo
bercita-cita ingin menjadi dokter, motivasinya berasal dari ayahnya yang tak
juga sembuh-sembuh. Kata tetangga-tetangganya, ayahnya menderita sakit liver atau hati, melihat perut ayahnya
yang buncit macam orang hamil lima bulan. Namun, cita-citanya kandas lantaran
ekonominya yang bisa dibilang mlarat
dan dia yang tak begitu pandai.
Seminggu
sekali ia pergi ke kota untuk membelikan obat ayahnya. Sebelum pulang ia selalu
mampir ke toko buah di perempatan membeli buah apel yang dibungkus jaring
berwarna merah jambu, ia sebut apel berbaju merah jambu. Tejo selalu membeli
apel karena ayahnya suka memakan buah apel. Namun, apel yang dibeli Tejo
merupakan apel yang sudah tidak layak jual, karena harganya lebih murah
daripada apel yang masih baru dan segar. Tapi, penjual di toko buah itu sudah
kenal dengan Tejo, ketika Tejo datang senyumnya langsung mengembang bah bunga
yang baru disiram.
“Hai,
Jo. Biasanya, kan?” tanya penjual buah.
“Iya,
Mas.” Jawab Tejo.
Sesekali
penjual buah meledek Tejo yang sibuk memilih-milih apel yang sekiranya masih
bisa dimakan manusia.
“Jo,
kenapa kamu tak beli yang masih segar saja?” ledeknya.
“Nggak,
Mas. Uangnya tak cukup.” Dengan senyum manisnya ditambah lesung pipit yang
menghiasi pipinya.
Bersemangat
mengayuh sepeda butut warisan kakeknya itu, Tejo berdoa dalam hati agar suatu
hari nanti dapat membelikan ayahnya apel berbaju merah jambu yang masih baru
dan segar. Tak ada hal yang membahagiakan selain melihat ayahnya tersenyum.
Bagi Tejo senyum ayahnya adalah obat rasa capai yang dideritanya karena terus
bekerja. Sungguh anak yang baik dan bijaksana.
Sesampainya
di rumah, Tejo berlekas mengambil pisau untuk mengupas apel yang baru ia beli.
Melihat anaknya mengupas apel, membuat hati ayah Tejo terharu karena anaknya
yang tidak pernah mengeluh dengan keadannya.
“Terima
kasih, Nak. Kau sangat baik pada Ayah, meskipun keadaan Ayah seperti ini kau
tetap merawat Ayah. Maafkan Ayahmu ini yang selalu merepotkanmu, Nak.” Kata
ayah tejo.
Menetes
air mata Tejo mendengar perkataan ayahnya, kemudian ia menanggapi perkataan
ayahnya dengan air mata yang terus mengalir semakin deras.
“Ayah,
kenapa Ayah bicara seperti itu? Itu sudah kewajiban Tejo sebagai anak Ayah.
Dulu Ayah sudah baik sama Tejo, setiap sabtu Ayah selalu mengajak Tejo
bersepeda ke kota terus membeli apel berbaju merah jambu. Namun, sekarang Tejo
hanya bisa membelikan Ayah apel yang sudah tak layak jual. Tapi, tenang saja,
Yah, nanti kalau Tejo sudah memiliki banyak uang, Ayah akan Tejo belikan apel
berbaju merah jambu yang masih baru dan segar.”
Esok
harinya adalah hari senin, hari dimana Tejo melakukan aktivitas seperti
biasanya sebagai seorang pelajar SMP. Namun,
hari itu ada yang beda bagi Tejo. Baru masuk jam pertama pelajaran, Tejo sudah
dipanggil ke ruang bimbingan konseling. Bertanya-tanya hati Tejo mengingat
dirinya merupakan anak yang pandai, tak suka buat masalah, karena hidupnya
sudah susah, sehingga ia tak mau mempersusah hidupnya dengan hal-hal yang tak
berguna. Masuklah Tejo ke ruang bimbingan konseling, rupanya di dalam sudah ada
Bu Anik, guru mata pelajaran bimbingan konseling.
“Oh,
Tejo. Masuk, Jo.” Panggil Bu Anik kepada Tejo karena melihat Tejo yang
mengintip-intip di depan pintu.
“Iya,
Bu. Kalau boleh saya tahu, apakah saya melakukan kesalahan?”
“Tidak,
Jo, kamu tidak melakukan kesalahan. Ibu memanggil kamu karena Ibu ingin
memberitahukan bahwa sebentar lagi akan ada lomba lari jarak jauh tingkat SMP
se-Jawa Timur, ini kesempatan emas, Jo. Kamu ikut saja.”
“Ada
hadiahnya kah, Bu?”
“Sudah
pasti ada dong, Jo. Juara pertama mendapatkan hadiah uang sepuluh juta rupiah. Juara kedua mendapatkan
hadiah uang lima puluh juta rupiah. Dan juara ketiga mendapatkan hadiah uang
dua juta rupiah. Juara yang diambil hanya tiga besar saja. Semuanya akan
mendapatkan piagam penghargaan. Kamu bersedia, Jo?”
Setelah
berpikir lumayan lama, akhirnya Tejo menjawab tawaran Bu Anik. Karena ia
tertarik dengan hadiah yang ditawarkan, ia menjadi sangat bersedia. Ia ingin
meraih juara pertama, agar ia dapat membawa ayahnya berobat ke rumah sakit dan
membelikan ayahnya apel berbaju merah jambu yang masih baru dan segar sebanyak
yang ayahnya minta.
“Baik,
Bu, saya bersedia.” Katanya.
Perbincangan
Tejo dengan Bu Anik cukup lama, sehingga pelajaran pertama yang ia lewatkan
tadi sudah akan berakhir lima belas menit lagi. Namun, Tejo tak memasuki
kelanya, ia malah pergi ke ruang guru. Tujuannya adalah menemui Pak Kohar
selaku guru mata pelajaran olahraga.
“Assalamu’alaikum.” Tejo mengucapkan
salam, namun, salamnya hanya bisa didengar olehnya dan kutu yang berada di
rambutnya, sangat pelan. Ia menengok ke sana kemari mencari Pak Kohar, tapi tak
ada satu pun guru yang berada di ruangan itu. Benar saja tak ada guru, karena
itu masih jam pelajaran, belum jam istirahat. Dengan kecewa Tejo melangkah
meninggalkan ruang guru dan kembali ke kelasnya, meskipun nanti di dalam kelas dia
akan mendapat wawancara dadakan karena dia yang dipanggil ke ruang bimbingan
konseling.
Bunyi
bel tanda jam istirahat sudah berdering. Tejo bergegas keluar kelas macam orang
yang kelamaan menahan kencing, sangat terburu-buru. Kembali ia pergi ke ruang
guru, tujuannya masih sama yaitu, mencari Pak Kohar. Belum sampai di runag
guru, ia langsung bertemu dengan Pak Kohar.
“Assalamu’alaikum,
Pak.”
“Wa’alaikumsallam,
Jo. Ada apa, Jo?”
“Begini,
Pak. Saya tadi diberitahu Bu Anik bahwa sebentar lagi akan ada lomba lari jarak
jauh tingkat SMP se-Jawa Timur, saya tertarik mengikutinya. Apakah Bapak
bersedia melatih saya?”
“Oh,
jelas Bapak bersedia. Melihat muridnya yang sangat bersemangat seperti kamu ini
membuat Bapak tambah bersemangat. Kalau boleh Bapak tahu apa yang membuat kamu
bersemangat mengikuti lomba ini, Jo?”
Tanpa
sungkan Tejo menceritakan alasan ia sangat bersemangat mengikuti lomba lari
jarak jauh ini kepada Pak Kohar. Sebelum ia bercerita, ia tarik napas melalui
hidung dikeluarkannya juga lewat hidung, tapi ini sedikit panjang.
“Yang
membuat saya bersemangat mengikuti lomba ini adalah ayah saya, Pak. Saya ingin
meraih juara pertama, agar mendapatkan uang sepuluh juta.”
“Jika
kamu sudah mendapatkan uang sepuluh juta, nanti uang itu akan kamu apakan, Jo?”
tanya Pak Kohar yang penasaran dengan apa yang dipikirkan Tejo.
“Uang
sepuluh juta itu akan saya gunakan untuk membawa ayah saya berobat ke rumah
sakit, Pak. Sudah dua tahun terakhir ini ayah saya tak bisa bangun dari tempat tidur. Saya ingin
membuat ayah saya bisa bangun lagi dari tempat tidur dan mengajaknya
jalan-jalan ke kota, kemudian membeli apel berbaju merah jambu kesukaan ayah.”
Tanpa
disadari Tejo, ternyata Pak Kohar sudah terisak-isak mendangar ceritanya. Sungguh tabah betul seorang yang bernama
Tejo ini, masih kecil sudah berpikir layaknya orang dewasa. Kata Pak Kohar
dalam hati.
Setiap
hari Tejo berlatih tanpa kenal lelah. Setelah sholat subuh, ia langsung berlari
mengitari kampung. Ia biasanya menghasilkan tiga ratus sampai lima ratus tas,
sekarang ia hanya menghasilkan dua ratus tas karena tubuhnya yang sudah sangat kecapaian
berlatih. Terkadang ia berlari sambil mengangkat kambing gembalaannya yang
paling gemuk. Ia juga pergi ke kota tanpa menaiki sepedanya, ia memilih untuk
berlari.
Pak
Kohar tak kalah semangatnya saat melatih Tejo. Setiap hari selepas jam
pelajaran habis, Pak Kohar dan Tejo berlatih di lapangan sekolah. Pak Kohar
senantiasa memberi teori-teori dan arahan-arahan pada Tejo. Untuk menambah
stamina Tejo, Pak Kohar juga memberinya sekotak susu bubuk rasa coklat, karena
Tejo suka rasa coklat.
Waktu
perlombaan sudah tiba. Namun, kondisi ayah Tejo semakin parah saja, itu yang
membuat Tejo semakin tak tega meninggalkan ayahnya. Ia selalu ingin di dekat
ayahnya, tapi besok perlombaannya sudah dimulai. Akhirnya dengan dorongan
ayahnya dan Pak Kohar, Tejo mengikuti perlombaannya. Sebelum berangkat Tejo
meminta doa restu kepada ayahnya, ia mencium kaki ayahnya, sungguh mengharukan
melihat mereka berdua.
Tejo
mengeluarkan seluruh energinya, ia berlari seperti kijang yang sedang dikejar
harimau yang hendak memakannya. Berbekal teori yang diberikan Pak Kohar serta
doa ayahnya membuat Tejo semakin yakin untuk meraih juara pertama. Benar sekali
dengan mudah Tejo melewati saingan-saingannya. Akhirnya ia menang dan mendapat
uang sepuluh juta rupiah, tunai langsung diserahkan kepada Tejo. Bergetar hati
Tejo memegang uang sebanyak itu, ia menangis di pelukan Pak Kohar.
Sementara
itu kondisi ayahnya di rumah sudah tidak memungkinkan lagi untuk hidup. Dalam
perjalanan Tejo meminta Pak Kohar untuk mengantarkannya membeli apel berbaju
merah jambu yang masih baru dan segar untuk ayahnya yang menunggunya di rumah.
Namun, sesampai di rumah sudah banyak orang di teras. Dalam hati Tejo
bertanya-tanya apa yang terjadi pada ayahnya. Kemudian ada tetangganya yang
menghampirinya dengan air mata yang terus mengalir.
“Jo,
kamu yang tabah, ya, Nak. Semua ini sudah kehendak Allah. Kamu yang ikhlas,
ya.”
Dijatuhkannya semua apel yang ia bawa setelah
mendengar perkataan tetangganya itu. ia macam orang linglung, ia berteriak
memanggil ayahnya, berlari menuju ke tempat ayahnya berbaring sekarang.
“Ayah....
jangan tinggalkan Tejo, Yah. Nanti Tejo sama siapa.”
Usaha
Tejo untuk membangunkan ayahnya tidak membuahkan hasil, takdir sudah berkata
lain, ayah Tejo sudah meninggal. Disaat Tejo sudah bisa membelikan ayahnya apel
yang masih baru dan segar, namun, ayahnya sudah tak dapat lagi menikmatinya.
Semenjak itu setiap kamis Tejo pergi ke makam ayahnya dan meletakkan sebuah
apel berbaju merah jambu di atas pusara ayahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar