Senangnya
hati Ahmad setelah cintanya diterima oleh Sinta, anak orang kaya tetangga desa
yang cantiknya tiada terkira jumlahnya. Sedangkan Ahmad merupakan anak tukang
kayu yang hidupnya pas-pasan, namun, gantengnya berlebihan, sehingga membuat
Sinta adik kelasnya itu jatuh cinta tak karuan. Oh sungguh indahnya hidup
Ahmad. Meskipun Ahmad berpacaran dengan anak orang kaya yang mempunyai harta
melimpah tiada tara, tak membuat Ahmad menjadi besar kepala. Dia ingin hidup
yang sederahana saja. Nah, ini yang membuat Sinta tambah jatuh cinta kepadanya.
Ahmad lebih memilih membonceng Sinta dengan motor bututnya ketimbang
menggunakan mobil milik Sinta.
Diterima
dengan baik oleh keluarga Sinta membuat Ahmad tak sungkan bila menjemput Sinta
pergi ke sekolah atau bermalam minggu di rumahnya. Setiap hari Ahmad menjadi
ojek si Sinta, pagi menjemput, siang mengantar pulang. Mungkin itu masih SMA
sehingga orang tua Sinta masih tak menghiraukan masalah pernikahan, toh itu
hanya cinta monyet, suatu saat bisa berganti pasangan. Namun, pemikiran orang
tua Sinta tak berjalan sesuai kenyataan, anaknya dan Ahmad tak juga putus
hubungan, sudah lulus SMA keduanya malah ingin melanjut ke pernikahan.
Tak
ingin Ahmad menjadi menantunya, orang tua Sinta membatasi Sinta untuk jalan
keluar dengan si Ahmad.
“Nduk,
kamu jangan sering-sering keluar sama laki-laki, tak baik dilihat tetangga.
Kamu kan perempuan, lebih baik Ahmad yang suruh main kesini.” Alasan orang tua
Sinta agar Sinta tak keluar dengan Ahmad.
“Tapi,
Bu. Laki-laki yang keluar dengan Sinta kan Ahmad. Bukannya Ibu sudah mengenal
Ahmad. Dia kan baik, Bu.” Bantah Sinta kepada ibunya yang melarangnya untuk
pergi keluar dengan laki-laki.
“Bukannya
Ahmad juga laki-laki.” Tambah ibunya yang semakin memojokkan Sinta. Sinta pun
terdiam seribu kata, tak berani membantah ibunya lagi.
Alasan
orang tua Sinta ingin memutuskan hubungannya dengan Ahmad yaitu, Ahmad anak
orang biasa dan dia tidak kuliah. Ahmad juga semakin paham dengan sikap ibunya
Sinta terhadapnya akhir-akhir ini. Dia juga sadar akan dirinya yang bukan anak
orang kaya dan pekerjaannya yang hanya seorang pegawai pabrik dengan gaji
pas-pasan. Dia dulu sempat mendaftar kuliah, namun gagal, dia tidak keterima.
Kegagalannya menjadi seorang mahasiswa membuatnya semakin dipandang sebelah
mata oleh orang tua Sinta.
Kemalangan
semakin melanda Ahmad, dia malah tak boleh main ke rumah Sinta, sehingga Ahmad
dan Sinta akhirnya backstreet. Cinta
sembunyi-sembunyi yang dilakukan keduanya berlangsung cukup lama tanpa
diketahui orang tua Sinta. Ketika Sinta hendak pulang atau pergi dari atau ke
kampus yang berada di kota, dia selalu menyempatkan untuk mampir ke rumah
Ahmad.
Suatu
saat Ahmad dan Sinta berbincang-bincang mengenai hubungan mereka akan berakhir
seperti apa nantinya. Apakah akan berlanjut seperti yang mereka inginkan atau
malah Sinta yang akan menuruti kemauan orang tuanya.
“Sinta,
apakah kamu tidak lelah dengan semua
ini?” Ahmad mengawali pembicaraan.
“Lelah
sih, sudah pasti lelah. Tapi mau gimana lagi.” Nada suara Sinta semakin pasrah
saja dengan keadaan.
Langit
semakin gelap, bukan gelap akan datangnya malam, melainkan gelap karena awan
hitam yang semakin menghalangi matahari untuk menyinari bumi. Suasana yang
membuat mereka semakin gelap tak dapat menemukan jalan keluar akan hubungannya.
Keheningan menyelimuti mereka, hingga akhirnya mulailah perbincangan yang
diawali oleh Ahmad.
“Daripada
bingung-bingung seperti ini, gimana kalau kita kawin lari saja.”
“Jangan
ngawur kamu, Mad. Meskipun aku mencintaimu, namun aku tak akan melakukan hal
itu.”
Perkataan Ahmad yang membuat Sinta muntab dan
berpikir dua kali untuk meneruskan hubungannya dengan Ahmad. Sebenarnya Ahmad
tak ingin mengatakan hal itu pada Sinta, namun karena dorongan kakaknyalah dia
berbicara seperti itu. Saat dia pergi ke rumah kakaknya yang kebetulan istri
kakaknya adalah temannya sendiri itu, kemudian kakaknya mengajaknya bicara.
“Mad, gimana hubunganmu dengan Sinta?”
“Ya, gitu deh, Kak. Tak ada kejelasan.”
“Gimana sih kamu ini, jadi cowok kok lemah.
Kalau kamu mencintai Sinta dan Sinta juga mencintaimu, ajak kawin lari saja tuh
Sinta, bila perlu hamili dia sekarang, nanti orang tua Sinta mau tak mau pasti
akan meminta pertanggungjawaban darimu.”
Perkataan-perkataan kakaknya didengar oleh
Ahmad, sebagai rasa hormat pada kakaknya. Terkejut si Ahmad ketika mendengar
solusi yang dilontarkan oleh kakaknya itu. Solusi yang menurutnya tak akan
menyelesaikan masalah nanti malah menambah masalah. Namun, cintanya pada Sinta
membutakan segalanya. Ahmad mengungkapkan pada Sinta kalau dia ingin mengajak
kawin lari padanya. Bukan respon baik yang dia dapatkan, melainkan respon buruk
yang memperumit keadaan. Sinta menjadi marah dan dia ingin menyudahi saja,
bagaimanapun juga dia tak ingin durhaka pada orang tuanya.
Sudah sebulan Ahmad mengajak Sinta untuk
kembali meneruskan hubungan yang ingin dia akhiri di pelaminan. Namun apalah
daya dia tak berhasil membujuk Sinta. Bahkan tersirat kabar bahwa Sinta akan
segera bertunangan dengan hasil perjodohan yang dilakukan orang tua Sinta.
Sinta tak ingin menolak perjodohan yang dilakukan orang tuanya, ingat sekali
lagi bahwa Sinta tak ingin durhaka kepada orang tua.
Pasrah, itu yang bisa dilakukan oleh Ahmad.
Dia akhirnya memutuskan untuk melupakan Sinta dan ingin mencari penggantinya.
Ahmad mendadak menjadi alim, yang biasanya
tak pernah sholat, sekarang menjadi rajin sholat, dia bahkan menjalankan
puasa sunah senin-kamis. Melakukan hal
yang tak biasa dia lakukan, hingga kakak, adik, serta orang tuanya menjadi
bingung. Bingung lantaran perubahan yang terjadi pada anaknya. Suatu hari
kakaknya pergi menemui Sinta di kampus tempat Sinta kuliah. Kakaknya Ahmad
melabrak Sinta agar Sinta bersedia kembali kepada Ahmad karena dia sudah tak
tahan melihat tingkah laku adiknya yang semakin hari semakin membuatnya
kasihan.
“Hei, Sinta. Sini sebentar aku mau bicara
empat mata kepadamu.”
“Iya, Kak. Kakak mau bicara apa denganku?”
“Begini, Sin, aku sudah tak tahan lagi
melihat tingkah Ahmad yang semakin hari membuatku semakin kasihan saja.
Layaknya orang gila yang tak tahu mau berbuat apa?”
“Memangnya dia bertingkah seperti apa, Kak?
Hingga Kakak begitu kasihan.”
“Dia sekarang menjadi rajin sholat, rajin
mengaji, serta puasa. Aneh, kan?”
Sinta dibuat terkejut oleh kakaknya Ahmad,
karena tingkah laku Ahmad semenjak putus dengannya menjadi tambah lebih baik
dari biasanya.
“Loh, Kak, kenapa Kakak harus kasihan,
bukannya itu tambah bagus melihat tingkah adiknya yang semakin shaleh.”
“Bukan begitu, Sin. Kan tak enak melihat
tingkah adik sendiri yang tak seperti biasanya.”
“Terus apa yang bisa aku lakukan, Kak?”
“Aku minta tolong kamu balikan sama Ahmad.”
“Maaf, Kak, aku tak bisa. Aku sudah memiliki
calon yang dicarikan orang tuaku. Aku juga mau pamit dulu, Kak, soalnya
sebentar lagi aku ada jam kuliah, Kak. Sekali lagi aku minta maaf, Kak.”
Kekecewaan yang mendalam dirasakan oleh Dani,
kakaknya Ahmad. Dia tak berhasil membujuk Sinta untuk kembali lagi dengan
Ahmad. Sedangkan Ahmad semakin mendalami ilmu agamanya, dia sering mengikuti
acara-acara kajian yang ada di desa maupun di kota dekat rumahnya. Sungguh
perubahan yang sangat positif. Dia bahkan belajar membaca Al-Quran dengan baik
dan benar. Dia ingin lebih bisa memahami isi dari ayat-ayatnya.
Waktu berjalan begitu cepat, tiga tahun sudah
Ahmad hidup sendiri tanpa kekasih. Namun, Ahmad tak memusingkan hal itu, karena
dia sudah memasrahkan semuanya kepada Yang Kuasa. Suatu saat dia dipanggil guru
mengajinya melalui via suara untuk menemui beliau di rumahnya. Ternyata sang
guru ingin mengenalkan Ahmad dengan keponakannya yang seumuran denganya.
Bergegas Ahmad langsung menuju ke kediaman
guru mengajinya. Terkejut Ahmad melihat seorang gadis yang anggun bak bunga
yang baru mekar dan belum pernah dijamah orang. Ahmad mengucapkan salam sebelum
memasuki rumah sang guru.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsallam.”
Gadis itu dan guru mengajinya menjawab salam dari Ahmad secara bersamaan.
“Silakan duduk, Mad.” Sambut sang guru.
Perbincangan yang cukup lama antara sang
guru, Ahmad, dan si gadis cantik jelita itu yang tak lain adalah keponakan dari
guru mengajinya Ahmad. Akhirnya Ahmad mohon untuk undur diri karena hari sudah
larut. Sesampainya di rumah Ahmad masih terbayang-bayang denga gadis itu dan
esok harinya Ahmad ingin menanyakan sesuatu kepada guru mengajinya yang
merupakan paman dari sang gadis.
Setelah sholat dhuha, dia bergegas ke rumah
guru mengajinya, Pak Arifin. Pak arifin sedikit heran dan senang dengan
kedatangan Ahmad yang datang tanpa mengabarinya terlebih dahulu.
“Assalamu’alaikum,
Pak.” Sapa Ahmad kepada Pak Arifin yang sedang menyirami tanaman di
pekarangannya.
“Wa’alaikumsallam,
Mad. Ada apa, Mad, kok tumben masih pagi sudah kesini.” Sahut Pak Arifin yang
sedikit menggoda Ahmad.
Terjadilah perbincangan antara mereka berdua.
Sebenarnya kedatangan Ahmad ke rumah Pak Arifin, yaitu menanyakan sesuatu hal
tentang keponakan Pak Arifin, gadis yang telah menghantui tidurnya itu. Setiap
hendak memejamkan mata, bayangan gadis itu selalu melayang-layang di
pikirannya. Tak pernah ada gadis yang dia pikirkan selama putus hubungan dengan
Sinta.
“Tidak ada apa-apa, Pak, saya hanya ingin
menanyakan tentang seseorang yang Bapak kenalkan pada saya kemarin.”
“Apa yang kamu tanyakan tentang keponakanku,
Mad?”
“Apakah keponakan Bapak sudah memiliki
pendamping hidup?”
“Hehehe, akhirnya...” pembicaraan Pak Arifin tiba-tiba berhenti,
membuat Ahmad menjadi bingung dan ikut semakin serius memandang wajah Pak
Arifin yang seperti merencanakan sesuatu. Setelah satu menit suasana hening,
akhirnya Pak Arifin melanjutkan pembicaraannya.
“Akhirnya rencanaku berhasil, Mad.”
“Rencana apa, Pak, kalau boleh tahu?”
“Rencana untuk menjodohkanmu dengan
keponakanku, Aisyah.”
Berbunga-bunga hati Ahmad mendengar kata Pak
Arifin yang ternyata sudah merencanakan ini semua. Sebuah cahaya yang datang
setelah melewati kegelapan-kegelapan dalam hidupnya. Tak pernah dibayangkan
sebelumnya bahwa akhir dari penantiannya selama ini diakhiri dengan hadirnya
seorang pendamping hidup.
Sebulan Ahmad berta’aruf dengan Aisyah,
akhirnya mereka berdua akan resmi menjadi pasangan suami dan istri. Keluarga
langsung menerima baik sosok Aisyah, begitu juga keluarga dari Aisyah langsung
menerima baik Ahmad. Ahmad, Aisyah, serta Pak Arifin sangat berbahagia. Cahaya
akan datang stelah kita meninggalkan kegelapan yang telah membutakan mata hati
kita.